Wednesday, January 27, 2010

Thursday, January 14, 2010

Membekulah wahai waktu...



Kita hanya duduk disini
Menghempas segala kelelahan hati
Hanya untuk satu tujuan
Abadi

Kau dan aku sama-sama tahu
Waktu tak akan berhenti memburu
Dan hanya satu pesanmu padaku
Jangan pernah aku menangis

Kita hanya terdiam disini
Mengharap rindu yang menggebu dulu datang lagi
Demi satu kesempatan
Kembalinya masa lalu

Dan aku pun tetap berjalan di atas garis putih ini
Saat waktu yang kau banggakan dulu telah rapuh
Saat aku memanggil jiwamu untuk kembali
Kau tak pernah peduli

Kita tersesat
Oleh hasrat yang tak pernah bersahabat dengan logika
Kita harus menunggu
Hingga rindu benar-benar membelenggu

Isyarat ini hanyalah semu
Nyata kau tetap termenung
Dan waktu enggan membeku
Kini kau dan aku telah membiru

Saturday, January 9, 2010

Cepatlah kembali...

Sungguh menyenangkan siang ini. Aku duduk dengan orang yang sangat kusayangi.

"Kamu mau pesen apa? Aku pesenin kesukaan kamu ya, hot cappuccino."

Dia memakai kemeja hitam dengan motif salur putih. Dia menarik secara fisik. Rugi jika wanita tak ingin mengenalnya lebih jauh.

"Kamu tahu, kemarin aku bertemu seseorang. Dia menawarkan pekerjaan menarik untukku. Katanya aku akan menyukainya. Pekerjaan itu harus kujemput, jauh. Di Melbourne."

Dia ragu saat menyebutkan Melbourne. Dia sempat melirikku untuk mengetahui responku. Aku hanya diam menyimak kelanjutan ceritanya.

"Pekerjaannya tidak terlalu sulit, aku rasa aku bisa. Hanya saja, aku tak yakin apa aku bisa meninggalkan Indonesia. Meninggalkan Papi, Mami, Kak Milla, dan kamu."

Rico kembali menatapku. Kali ini dia mengamati wajahku, dilihatnya rambutku yang terurai. Diamatinya bibirku yang memerah akibat jus stroberi tadi. Aku masih terdiam.

"Aku tahu, kamu akan selalu mendukungku, apapun yang kulakukan. Tapi, aku hanya ingin mendengar pendapatmu kali ini. Apa pendapatmu tentang rencana ini?"

Aku tersenyum, meraih tangannya. Kugenggam jemarinya, kumainkan, dan kembali kugenggam. Aku katakan bahwa aku mendukungnya. Aku akan baik-baik saja disini, di Indonesia. Aku menjelaskan bahwa jarak yang jauh itu bisa dilalui dengan teknologi, dengan internet dan telepon tepatnya. Dia mengangguk, perasaan bahagia menyelimutinya.

"Terima kasih, aku tahu kali ini kamu akan bicara. Aku hanya pergi selama 1,5 tahun. Aku tak akan memintamu untuk tetap setia. Aku hanya memintamu untuk menemuiku, Desember tahun depan, tanggal 21. Aku akan pulang, menemuimu lagi disini. Di tempat ini."

Begitu sederhana permintaannya kali ini. Aku tak kuasa untuk menolaknya, maka aku katakan bahwa aku akan datang.

Aku berbohong. Aku tak menemuinya pada 21 Desember itu. Dia nampak kecewa dan begitu terpukul, mengetahui bahwa aku tidak ada. Yang ditemuinya hanya Kak Milla, kakaknya. Kak Milla memeluknya dan tersenyum. Dia memberikan satu karangan bunga dan kertas putih bertuliskan nama Rico. Dibukanya kertas itu, dia baca dan tertunduk lesu.

Maaf, aku tak datang untuk menemuimu sore ini. Tahukah kamu, sekarang aku punya kehidupanku sendiri? Begitu tenang. Begitu indah, mungkin. Selamat menjalani hari-hari selanjutnya, Rico. Maaf, aku tak sempat berpamitan. Aku titipkan surat ini pada Mami dan Kak Mila. Jangan marah, kumohon. Aku tak mau kepulanganmu menjadi suatu penyesalan. Baik-baik ya. Kamu tahu, aku mencintaimu walaupun tak pernah kukatakan.

Rico menangis. Kertas itu terjatuh dari genggamannya.

Aku pergi meninggalkan Rico, selamanya dalam tidur yang abadi ini. Semoga kita bertemu lagi, disini, di tempatku saat ini.